Halaqah 186: Ahlu Sunah Melaksanakan Haji, Jihad, Sholat Jumat, dan Hari Raya bersama Umara (Bagian 1)

Halaqah yang ke-186 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah beliau mengatakan,

وَيَرَوْنَ

“Mereka memandang.”

Maksudnya adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka meyakini.

إِقَامَةَ الْحَجِّ وَالْجِهَادِ وَالْجُمَعِ وَالأَعْيَادِ مَعَ الأُمَرَاءِأَبْرَارًا كَانُوا أَوْ فُجَّارًا، وَيُحَافِظُونَ عَلَى الْجَمَاعَاتِ

Mereka meyakini bahwasanya melakukan atau menegakkan haji dan juga jihad dan juga al-juma’ (الْجُمَعِ) yaitu jamak dari jumu’ah melakukan shalat jumat, وَالأَعْيَادِ dan melakukan shalat hari raya. Ini aqidah mereka Ahlus Sunnah wal Jama’ah, itu dilakukan bersama umara yaitu dilakukan bersama pemimpin kita, bersama penguasa kaum muslimin.

Merekalah yang memimpin kita untuk melakukan ibadah haji, merekalah yang memimpin kita untuk berjihad. Jihad bukan dilakukan sendiri-sendiri tapi harus ada benderanya harus ada bimbingan dari penguasa kaum muslimin.

Mereka yang menyuruh kita mereka yang mengarahkan, mereka yang memimpin, merekalah yang mengetahui tentang maslahat dan juga mudharat. Mereka mendengar kabar, mereka mengetahui tentang kekuatan musuh, di mana musuh dan apa yang harus kita lakukan. Kita kembalikan kepada pemimpin kita.

Sehingga jihad dan juga haji sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam itu adalah masalah pemerintah. Rasūlullah shallallahu 'alaihi wasallam terkadang beliau yang memimpin haji itu sendiri.

Dan setahun sebelumnya Beliau shallallahu 'alaihi wasallam di haji wada, Beliau shallallahu 'alaihi wasallam yang memimpin sendiri setahun sebelumnya Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk memimpin kaum muslimin berhaji.

Berjihad juga demikian dilakukan bersama pemerintah bukan seorang sahabat pergi sendiri untuk melakukan jihad atau membuat kelompok sendiri tanpa ada bimbingan dari pemerintah dan juga penguasa yang sah. Itu bukan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Mereka memandang haji itu bersama pemerintah berjihad itu bersama pemerintah. Berbeda dengan orang khawarij misalnya yang mereka melakukan aktifitas mereka menganggap itu adalah jihad padahal itu bukan termasuk jihad yang syar’i. Jihad yang syari itu bersama pemerintah.

وَالْجُمَعِ mereka juga melaksanakan shalat jumat ini bersama pemerintah juga. Zaman dahulu ketika shalat jumat maka yang menjadi imam yang menjadi khatib adalah penguasa itu sendiri. Kalau dia gubernur Madīnah dia yang menjadi khatibnya dia yang menjadi imamnya, kita shalat jumat di belakang mereka.

وَالأَعْيَادِ مَعَ الأُمَرَاءِأَبْرَارًا كَانُوا أَوْ فُجَّارًا، وَيُحَافِظُونَ عَلَى الْجَمَاعَاتِ

Dan mendirikan shalat hari raya juga bersama mereka (pemerintah), Ahlus Sunnah wal Jama’ah di manapun ketika mereka berhari raya baik hari raya idul fitri maupun hari raya idul adha, mereka mengikuti apa yang dilakukan dan instruksi dari pemerintah. Karena memang berhari raya itu bersama pemerintah dan dengannya akan terjadi persatuan di antara umat Islam.

Bersatu dalam berhari raya bukan sebagian di hari kamis sebagian yang lain di hari Jum’at, kita mengikuti pemerintah kita di dalam berhari raya. مَعَ الأُمَرَاءِ bersama pemerintah bersama penguasa kaum muslimin.

أَبْرَارًا كَانُوا أَوْ فُجَّارًا

Baik pemerintah tersebut adalah أَبْرَارًا pemerintah yang shalih, baik mereka adalah pemerintah yang shalih yang menjaga kewajiban agama meninggalkan kemungkaran.

كَانُوا أَوْ فُجَّارًا

Atau mereka orang-orang yang fajir yaitu orang-orang yang berbuat kefasikan, dan fujar terkadang maknanya adalah orang kafir terkadang maknanya adalah orang yang fasik.

Seperti firman Allah subhanahu wata'ala

إِنَّ ٱلْأَبْرَارَ لَفِى نَعِيمٍۢ ۞ وَإِنَّ ٱلْفُجَّارَ لَفِى جَحِيم

Maka ini maksudnya adalah orang-orang kafir, dan terkadang maknanya adalah kefasikan. Kefajiran maksudnya adalah kefasikan yaitu kemaksiatan tidak sampai kepada kekufuran dan juga kesyirikan.

Nah yang dimaksud di sini adalah فُجَّار maksudnya adalah فسَق orang-orang yang fasik dia seorang muslim tapi dia fasik. Nah kita melakukan haji, berhijad,melakukan shalat berjamaah, berhari raya bersama mereka kaum muslimin atau penguasa kaum muslimin. Tidak memandang apakah mereka ini penguasa yang shalih atau penguasa yang fasik.

Kalau dia adalah penguasa yang shalih alhamdulillah tapi seandainya dia adalah seorang penguasa yang fasik memang dia melakukan kemaksiatan mungkin dia melakukan zina, mungkin dia melakukan riba atau dia menzhalimi atau membunuh misalnya, dan itu adalah kefasikan, itu tidak menjadikan kita kemudian tidak mau jihad bersama mereka atau tidak mau shalat jumat di belakang mereka atau tidak shalat berhari raya bersama mereka. Ini bukan caranya dan bukan aqidahnya Ahlussunnah.

Aqidah mereka adalah bersama pemerintah kaum muslimin baik pemerintah tersebut adalah orang-orang yang shalih maupun mereka adalah orang-orang yang fajir yaitu orang-orang yang fasik. kezhaliman mereka kefasikan mereka ini tidak menjadikan kita keluar dari ketaatan kepada pemerintah.

Hal ini tentunya berdasarkan dalīl Allah, subhanahu wata'ala mengatakan:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah subhanahu wata'ala dan taatlah kepada rasul dan pemerintah kalian أُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ dan pemerintah kalian.”

مِنكُمْ di sini kembali kepada orang-orang yang beriman, yaitu ulul amri minalmukminin atau ulul amri minalmuslimin. Dan muslim itu masuk di dalamnya orang yang shalih dan orang yang fasik. Mereka adalah muslim dan mereka adalah orang beriman, cuma yang satunya imannya sempurna yang satunya imannya kurang sebagaimana telah berlalu, tapi mereka adalah orang-orang yang beriman.

Mereka memiliki mutlaqul iman, sama-sama memiliki pondasi dari keimanan, meskipun yang pertama adalah sempurna keimanannya kemudian yang kedua kurang keimanannya. Ini menunjukkan وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ dan pemerintah kalian.

Berarti kita disuruh dan diperintahkan untuk mentaati pemerintah kita kalau dia adalah seorang muslim selama dia adalah seorang muslim maka kita disuruh untuk taat kepadanya.

Kemudian juga di dalam sebuah hadīts Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan:

إِنَّكمْ سترونَ بعدي ، أثَرَةً وأمورًا تُنكِرونَها أدُّوا إليهم حقَّهم ، وسلوا اللهَ حقَّكُمْ

Sesunguhnya kalian akan melihat setelahku atsaratan (أثَرَةً) yaitu orang-orang yang mereka menzhalimi kamu di dalam masalah harta. Mereka mendahulukan diri mereka tentang di dalam masalah jabatan, di dalam masalah harta dan mengenyampingkan dirinya.

Engkau akan melihat ini, penguasa yang mungkin dia mendahulukan seseorang dengan jabatan dengan harta kemudian mengenyampingkan kita padahal itu adalah hak kita. Kalian akan melihat yang demikian وأمورًا تُنكِرونَها dan perkara-perkara yang kalian akan mengingkari. Itu sebuah kemungkaran sebuah kesalahan.

قالوا:فَما تَأْمُرُنا؟

“Para sahabat bertanya apa yang engkau perintahkan kepada kami, wahai Rasūlullah shallallahu 'alaihi wasallam?”

Kalau misalnya kami menemukan ada pemerintah yang demikian sikapnya terhadap kami

قال

Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberikan petunjuk dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Beliau shallallahu 'alaihi wasallam.

تُؤَدُّونَ الحَقَّ الذي علَيْكُم، وتَسْأَلُونَ اللَّهَ الذي لَكُمْ

“Hendaklah kalian menunaikan kewajiban yang menjadi kewajiban bagi kalian.”

Hendaklah kalian melakukan kewajiban yang menjadi kewajiban bagi kalian, yaitu mendengar dan tata kepada penguasa.

Hendaklah kalian lakukan apa yang menjadi kewajiban bagi kalian. Ada perintah dan itu tidak bertentangan dengan syariat kita lakukan.

وتَسْأَلُونَ اللَّهَ الذي لَكُمْ

“Dan hendaklah kalian minta kepada Allah subhanahu wata'ala apa yang menjadi hak kalian.”

Hak kalian yang dizhalimi tadi, oleh penguasa kalian dan oleh pemerintah kalian, kalian mintanya kepada Allah subhanahu wata'ala. Minta kepada Allah subhanahu wata'ala hak minta kepada Dzat yang Maha Kaya. Semoga Allah subhanahu wata'ala menggantikan antum dengan yang lebih baik.

Dialah yang Maha Kaya, seandainya hak antum diambil oleh penguasa tadi, Allah subhanahu wata'ala memiliki segalanya, mengapa kita tidak meminta kepada Allah subhanahu wata'ala, mungkin Allah subhanahu wata'ala memberikan yang lebih baik, baik di dunia maupun di akhirat. Yang penting kita melaksanakan kewajiban kita kepada penguasa tadi.

Dan seandainya dia selamat di dunia atas kezhaliman yang dia lakukan, maka dia tidak akan selamat di akhirat di sana akan ada perhitungan bagi orang-orang yang berbuat kezhaliman.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url