Halaqah 174: Aqidah Ahlu Sunah terhadap Atsar Rasulullah dan Para Salaf (Bagian 2)

Halaqah yang ke-174 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Bagaimana aqidah ahlussunnah terhadap atsar-atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan juga para Salaf. Disini kesempatan bagi kita untuk mencocokkan apakah ana ini sudah benar-benar mengikuti caranya Ahlussunnah Wal Jama’ah atau belum, belajar sambil kita mengoreksi diri. Beliau mengatakan rahimahullah

بَاطِنًا وَظَاهِرًا

mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam secara batin maupun secara dzahir, diantara maknanya adalah baik apa yang ada di dalam hati seseorang di dalam batin seseorang yang berupa amalan hati ataupun ucapan hati yang baik berubah ucapan hati maupun amalan hati seperti rasa takut ikhlas mencintai Allah subhanahu wata'ala mengharap kepada Allah subhanahu wata'ala bertawakal kepada Allah subhanahu wata'ala ini adalah amalan-amalan hati gerakan-gerakan hati mereka juga mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tawakalnya sesuai dengan sunnah mahabbahnya sesuai dengan sunnah tidak melenceng dari sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam rasa takutnya juga sesuai dengan sunnah.

Agar rasa takut kita rasa mahabbah kita rasa tawakal kita sesuai dengan sunnah maka harus belajar, belajar tentang Tauhid belajar tentang amalan-amalan hati, tasdiq yang merupakan ucapan hati seseorang ini juga perlu kita belajar bagaimana kita membenarkan secara batin mereka mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam demikian pula secara dzahir yaitu amalan-amalan yang dilihat oleh manusia, maka Ahlussunnah Wal Jama’ah cara mereka adalah bagaimana amalan dzhohir dia ini sesuai dengan cara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Ahlussunnah bukan orang yang hanya memperhatikan masalah batin saja kemudian mengenyampingkan dan meremehkan masalah dzhahir, ada sebagian yang diperhatikan masalah hati saja masalah hati masalah khauf masalah tawakul masalah roja’ tapi dia melalaikan amalan dzhohirnya tidak peduli apakah amalan dzhohirnya ini sesuai dengan cara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam atau tidak sehingga terjatuh dalam bid’ah-bid’ah yang banyak padahal sepertinya dia adalah orang yang zuhud yang takut kepada Allah subhanahu wata'ala memperhatikan kesucian dan kebersihan hatinya cuma ternyata dzhahirnya dia tidak mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, yang penting dia puas secara batin yang penting dia mendapatkan rasa kepuasan bathinnya rasa takut rasa cinta meskipun itu bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka dia lakukan, ini keliru yang demikian.

Ada sebagian untuk mendapatkan kepuasan batin tadi melakukan apa yang dinamakan dengan nasyid, menyanyikan atau melakukan nasyid karena dia ketika ditanya ketika ana mendengar nasyid-nasyid seperti ini saya merasakan rasa takut kepada Allah subhanahu wata'ala rasa cinta kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahkan ana sering menangis, tapi lihat dzhahirnya ini amalan dia ini tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ini bukan cara Ahlussunnah.

Sebaliknya mereka bukan orang yang hanya mengedepankan perkara yang dzhahir kemudian melalaikan apa yang ada di dalam diri mereka dan batin mereka, ingat kita mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bukan hanya sekedar jenggot yang kita panjangkan celana yang kita potong sehingga di atas mata kaki atau hanya sekedar menutupi dirinya dengan niqab kemudian cukup disitu saja, tidak, Ahlussunnah Wal Jama’ah secara dzhahir mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan mereka juga mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam secara batinnya, dia memperhatikan kebersihan hatinya memperhatikan kecintaan dia kepada Allah subhanahu wata'ala bagaimana dia mencintai Allah subhanahu wata'ala dengan sesungguhnya, bagaimana mengharap dan juga takut kepada Allah subhanahu wata'ala yang benar, menghilangkan penyakit-penyakit hati dari dalam dirinya seperti hasad suudzon kepada orang lain iri, mereka tidak melalaikan amalan-amalan yang batin kemudian hanya memperhatikan amalan-amalan dzhahir saja.

Jangan sampai kita terjerumus kepada kelompok yang pertama ataupun kelompok yang kedua, Ahlussunnah Wal Jama’ah mereka mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam secara dzhahir dan juga bathin, jangan kita seperti orang-orang munafiqun yang mereka bersyahadat di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tapi secara batin mereka berbeda, ahlussunnah Wal Jama’ah mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam baik secara dzhahir maupun secara bathin.

ظَاهِرًا وَبَاطِنًا

bisa juga maknanya adalah baik dzhahiran yaitu ketika bersama manusia ataupun bathinan ketika dia dalam keadaan sendirian, dalam keadaan sendirian dia berusaha untuk mengikuti sunnah, di rumahnya yang tidak mengetahui kecuali dia sendiri maka dia mengikuti sunnah, ta’dzhim terhadap sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meskipun tidak dilihat oleh orang lain, makan dan minumnya dia usahakan sesuai dengan sunnah dzhahirnya ketika dia bersama manusia juga demikian mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Bukan orang yang ketika bersama orang lain Masya Allah subhanahu wata'ala kelihatannya dia benar-benar mengikuti sunnah, makan tidak dalam keadaan berdiri minum juga tidak berdiri tapi kalau sudah sampai rumah karena tidak ada yang melihat makan semaunya minum semuanya makan sambil berdiri minum sambil berdiri masuk ke kamar mandi tidak membaca dzikir keluar juga demikian, karena dia hanya melakukan sunnah tadi di hadapan orang lain ketika bersama orang lain sepertinya dia adalah orang yang paling melaksanakan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tentunya bukan demikian.

Seorang Ahlussunnah Wal Jama’ah meskipun tidak dilihat oleh orang lain maka dia menghidupkan sunnah, di dalam kamarnya di dalam rumahnya bersama keluarga maupun bersama orang lain dia berusaha untuk mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ini cara Ahlussunnah.

Masing-masing kita mengoreksi dirinya sendiri memperhatikan dirinya sendiri, karena kita sudah ikrar dan kita sudah mengaku sebagai seorang sunni seorang Salafi seorang yang bermazhab Ahlussunnah Wal Jama’ah, dan kita mempelajari aqidah bukan hanya untuk sekedar selesai kitab kemudian ditutup kemudian selesai dan tidak mengamalkan, tidak, kita belajar untuk kita amalkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url