Halaqah 184: Ahlu Sunah Ber-amar Ma’ruf Nahi Mungkar (Bagian 3)

Halaqah yang ke-184 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mereka beramar ma’ruf nahi mungkar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau mengatakan:

عَلَى مَا تُوجِبُهُ الشَّرِيعَةُ

Sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh syariat ini, artinya amar ma’ruf nahi mungkar ini ada kaidahnya, bukan hanya sekedar semangat seseorang dalam beramar ma’ruf nahi mungkar. Tapi dia harus mengikuti kaidah-kaidah yang ada di dalam amar ma’ruf nahi mungkar.

Misalnya yang namanya pengingkaran itu dalam perkara yang memang itu sebuah kemungkaran bukan di dalam permasalah ijtihadiyyah, khilafiyyah dan di sini kita harus mengerti benar bahwasanya perkara ini adalah memang semuanya sepakat itu adalah sebuah kemungkaran, zina, riba, mencuri.

Adapun perkara-perkara yang ijtihadiyyah, khilafiyyah yang di situ khilaf antara ulama-ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka tidak boleh kita menyikapi itu sebagaimana kita menyikapi sebuah kemungkaran.

Kemudian di antara kaidahnya yang perlu diperhatikan maksud dari mengingkari kemungkaran, mungkin ingin menghilangkan kemungkaran tadi, supaya hilang sama sekali kemungkaran tadi di permukaan bumi atau di sebuah daerah atau tujuan yang kedua mengingkari kemungkaran tadi adalah untuk mengurangi kerusakan.

Kalau dia memang tidak bisa menghilangkan secara keseluruhan, minimal dia mengurangi, jadi tidak harus hilang semuanya baru disadarkan mengingkari kemungkaran. Kemudian ada yang mengatakan, “Paling kalau ana larang nanti cuma demikian”.

Kalau memang antum bisa lakukan dan mengurangi kemungkaran antum larang.

Karena terkadang mengingkari kemungkaran mungkin menghilangkan secara keseluruhan, kalau tidak bisa, kita berusaha untuk mengurangi kemungkaran tadi, kita lakukan.

Adapun kalau misalnya pengingkaran terhadap kemungkaran tadi justru terjadi kemungkaran yang lebih besar, maka dalam keadaan demikian diharamkan mengingkari kemungkaran tadi.

Karena maksud dari mengingkari kemungkaran adalah untuk menghilangkan kemungkaran atau mengurangi kemungkaran adapun mengingkari kemungkaran justru malah terjadi kemungkaran yang lebih besar maka ini diharamkan dalam keadaan demikian untuk mengingkari kemungkaran tadi.

Sebagian mengambil contoh misalnya apa yang terjadi di atas kuburan Rasūlullah shallallahu 'alaihi wasallam berupa pembangunan kubah di atas kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ini kemungkaran, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan di dalam sebuah hadīts Beliau shallallahu 'alaihi wasallam melarang,

أي ما بُنيَ على القبور

Melarang untuk dibangun di atas kuburan.

Kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dibangun di atasnya kubah, ini sebuah kemungkaran. Tapi para umara, para ulama, mereka tidak menghancurkan kemudian kubah yang ada di atas kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, karena dikhawatirkan terjadi kemungkaran yang lebih besar, banyaknya orang-orang yang juhal dianggap bahwasanya ini adalah penghinaan dan perendahan terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Sehingga terjadi pertumpahan darah di antara kaum muslimin yang berkepanjangan dan ini adalah sebuah kemungkaran dan kemungkaran yang lebih besar daripada kemungkaran yang pertama.

Sehingga para ulama sebatas mereka mengingkari dengan lisan tidak sampai mereka membongkar kubah tersebut. Diantaranya adalah kaidah ini, karena jangan sampai kita mengingkari kemungkaran kemudian terjadi kemungkaran yang lebih besar.

Berarti mengingkari kemungkaran itu bukan hanya semangat saja, tidak cukup seseorang memiliki semangat untuk menegakkan kalimat Allah subhanahu wata'ala tapi dia harus punya ilmu. Dia harus punya ilmu dalam berdakwah dan beramar ma’ruf nahi mungkar. Dia harus siapkan sebelum dia berdakwah ilmu yang cukup, jangan dia beramar ma’ruf nahi mungkar di atas kebodohan.

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي {يوسف:١٠٨}

Dan amar ma’ruf nahi mungkar adalah bagian dari dakwah kepada Allah subhanahu wata'ala harus عَلَىٰ بَصِيرَةٍ di atas ilmu. Seseorang baru mendapatkan hidayah atau baru hijrah kemudian karena dia sangat semangat langsung dia terjun di dalam dakwah.

Ini وَظِيْفَة الأنبياءُ والرُّسل.

Ini adalah tugas para Nabi dan Rasul asalnya dan mereka berdakwah di atas ilmu. Kalau kita ingin berdakwah maka kita harus menuntut ilmu terlebih dahulu. Orang yang berdakwah bukan didasarkan ilmu maka yang dia rusak itu lebih banyak daripada yang dia perbaiki.

Dan dia harus senantiasa memasang di depannya mengingat hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

مَنْ دعا إلى ضلالةٍ كان عليه من الإثم مثلُ آثام من تبعه لا ينقص ذلك من آثامهم شيئًا

Barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, terkadang karena kebodohan dia, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tidak berkurang dari dosa mereka sedikit pun.

Hati-hati berdakwah kepada kesesatan tanpa ilmu kemudian juga ketika kita berdakwah, sebelum berdakwah kita butuh ilmu. Ketika kita berdakwah maka kita butuh kelembutan.

إِنَّ الرِّفقَ لا يَكُونُ في شيءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلا يُنْزَعُ مِنْ شَيءٍ إِلَّا شَانَهُ { رواه مسلم}

Kelembutan tidaklah ada pada sesuatu kecuali akan menghiasi sesuatu tadi menjadi indah, amar ma’ruf nahi mungkar ketika disertai dengan kelembutan menjadi indah dan tidak diambil dari sesuatu kecuali akan menjelekkan.

Kalau amar ma’ruf nahi mungkar yang ada hanyalah kekasaran maka ini menjadi jelek bisa menjadi sebab seseorang tidak menerima hidayah. Betapa banyak orang yang dulunya dia berada di atas jalan yang menyimpang karena kelembutan seorang dai dalam menyampaikan kebenaran akhirnya dia mau menerima kebenaran tadi.

Kemudian setelah berdakwah maka kita butuh kesabaran, sebelum berdakwah butuh ilmu ketika berdakwah butuh kelembutan, setelah berdakwah butuh kesabaran.

Karena orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar, maka dia melawan hawa nafsu manusia, manusia pergi ke arah sini antum ke arah sana. Antum melawan mereka, dan tentunya terkadang ada perlawanan dari mereka, mungkin dengan cacian, mungkin dengan kritik yang pedas bahkan sampai pada gangguan fisik.

Ini sunatullah orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar demikian, oleh karena itu Luqman Al-Hakim ketika menasihati anaknya,

يَٰبُنَيَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَٱنۡهَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ

“Wahai anakku! dirikanlah shalat beramar ma’ruf nahi mungkarlah, dan sabarlah atas apa yang menimpamu.” (QS. Luqman:17)

Karena orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar terkadang dia dikucilkan, terkadang dia dibenci terkadang dia dicaci kita bersabar. Bersabar untuk Allah subhanahu wata'ala.

وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ

“Sabar kita karena Allah subhanahu wata'ala yang telah menjadikan kita sabar.” (QS. An-Nahl:127)

وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ
QS. Ath-Thur:48

“Hendaklah engkau bersabar atas hukum Allah subhanahu wata'ala (baik hukum Allah subhanahu wata'ala yang kauni maupun hukum Allah subhanahu wata'ala yang syar’i).”

Tidak ada yang sia-sia di sisi Allah subhanahu wata'ala karena kita memang ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala.

Kapan kita akan berkorban untuk Allah subhanahu wata'ala ?

Kalau bukan sekarang, orang-orang sebelum kita, orang-orang yang shalih para aimah para ulama orang-orang yang shidiqun, syuhada mereka telah berkorban untuk Allah subhanahu wata'ala. Maka hendaklah kita berkorban sebagaimana mereka berkorban untuk Allah subhanahu wata'ala, diantaranya adalah dengan amar ma’ruf nahi mungkar yang penuh dengan hikmah, penuh dengan ilmu, penuh dengan kelembutan.

Bersabar dalam beramar ma’ruf nahi mungkar.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url