Risalah Aqiqah
Definisi
Aqiqah merupakan kalimat kembangan dari kata (عَقَّ يَعِقُّ). Secara bahasa, aqiqah merupakan sebutan untuk rambut yang ada di kepala si bayi saat ia lahir. Adapun secara istilah, aqiqah bermakna suatu yang disembelih saat menggundul kepala si bayi. Aqiqah diberi nama dengan sebabnya lantaran menyembelihnya bermakna (يُعَقُّ), yakni memotong, sedang rambut kepala si bayi dicukur juga saat itu.
Dasar Hukum Aqiqah
Aqiqah ialah suatu amalan yang disyari’atkan oleh kebanyakan ulama seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, beberapa fuqoha tabi’in, serta beberapa ulama di beberapa negeri. Dalil pensyariatan aqiqah ialah seperti berikut.
Pertama: Hadits Salman bin ‘Amir.
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِّىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى »
“Dari Salman bin ‘Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada (tiap-tiap) anak lelaki (yang lahir) mesti diaqiqahi, jadi sembelihlah (aqiqah) untuk dia serta hilangkan gangguan darinya.” (HR. Bukhari no. 5472)
Kedua: Hadits Samuroh bin Jundub.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »
Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya di hari ke-7, digundul rambutnya serta diberi nama.” (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah 0. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani menyampaikan jika hadits ini shahih)
Sayyid Sabiq –rahimahullah– memiliki pengucapan yang sangat baik. Beliau berkata, “Hukum aqiqah ialah sunnah muakkad (sunnah yang sangat disarankan), meskipun si bapak (yang membiayai aqiqah) ialah orang yang dalam kondisi susah. Rasulullah SAW sendiri masih menjalankan aqiqah , begitupun sahabatnya. Sudah diriwayatkan oleh penyusun kitab sunan jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat mengaqiqahi Al Hasan serta Al Husain masing-masing dengan satu ekor kambing.”
Berdasarkan melalui hadits di atas dan beberapa hadits lain, maka:
Jumhur (sebagian besar) ulama berpendapat bahwa hukum aqiqah ialah sunnah.
Sayyid Sabiq –rahimahullah– mengatakan, “Hukum aqiqah ialah sunnah muakkad (sunnah yang sangat disarankan), meskipun si bapak (yang membiayai aqiqah) ialah orang yang dalam kondisi susah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri masih lakukan aqiqah , begitupun sahabatnya. Sudah diriwayatkan oleh penyusun kitab sunan jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat mengaqiqahi Al Hasan serta Al Husain masing-masing dengan satu ekor kambing.”
Waktu Yang Disunnahkan Untuk Aqiqah
مسند أحمد – (ج 41 / ص 55/ح 19225) و سنن أبي داود – (ج 8 / ص 16/ح 2454) و السنن الكبرى للبيهقي – (ج 9 / ص 299) و سنن الدارمي – (ج 6 / ص 106/ح 2021) : حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّ ثَنَا سَعِيدٌ وَ يَزِيدُ قَالَ أَخْبَرَ نَا سَعِيدٌ وَ بَهْزٌ حَدَّ ثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَ نَّهُ قَالَ كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْ بَحُ عَنْه ُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَ قَالَ بَهْزٌ فِي حَدِيثِهِ وَ يُدَمَّى وَ يُسَمَّى فِيهِ وَ يُحْلَقُ قَالَ يَزِيدُ رَ أْسُهُ
Dari Samurah , ia berkata : Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda : Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, yang harus disembelih untuknya pada hari ketujuh dan diberinya nama si anak tersebut pada hari itu, serta dicukuri rambutnya”.
Hadits samurah ini mengandung pengertian bahwa waktu yang disunnahkan untuk menyembelih aqiqah dan pemberian nama serta dicukuri rambutnya adalah pada hari ketujuh setelah dilahirkan. Hadits lain yang menguatkan seperti dibawah ini :
نيل الأوطار – (ج 8 / ص 159/ح2145) : وَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِتَسْمِيَةِ الْمَوْلُودِ يَوْمَ سَابِعِهِ وَوَضْعِ الْأَذَى عَنْهُ وَالْعَقِّ .رَ وَ اهُ التِّرْمِذِيُّ وَ قَالَ : حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Dan dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya : Sesungguhnya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyuruh memberi nama seorang anak pada hari ke tujuhnya dan menghilangkan gangguan dari padanya serta (menyuruh) dipotong (kambing)
Perkataan “dan menghilangkan gangguan padanya” itu maksudnya adalah cukurlah rambutnya, tetapi Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari : Yang lebih tepat ‘gangguan’ itu diartikan umum, daripada sekedar mencukur rambut.
Perkataan “menyuruh potong kambing pada hari ketujuh” menunjukkan bahwa waktu aqiqah itu ialah hari ketujuh sesudah kelahiran. Tetapi Tirmidzi meriwayatkan dari kalangan ahli ilmu, bahwa menyembelih ‘aqiqah pada hari ketujuh itu adalah sunnah, kalau tidak dapat hendaknya pada hari ke empat belas, dua puluh satu dan seterusnya. Dan Rafi’ meriwayatkan : bahwa mulai masuk waktunya ialah sejak kelahiran bayi tersebut. Dan Imam Syafi’I mengatakan bahwa aqiqah itu tidak boleh lebih dari hari ke tujuh, kalau terlambat gugurlah aqiqahnya itu dari orang yang hendak beraqiqah, tetapi kalau dia berkehendak mengaqiqahi dirinya sendiri silahkan waktunya tidak terbatas karena Nabi juga mengaqiqahi dirinya di Usia 40 tahun. Pendapat lainnya dari Imam Malik bahwa hari ketujuh itu sunnahnya melihat dari Zhahir hadits diatas, apabila orang itu bisa melakukan pada hari ke empat, hari ke delapan atau hari kedua belas, silahkan tidak mengapa hal ini berdasarkan sabda Rasulullah untuk urusan yang berhubungan dengan social kemasyarakatan : permudahlah jangan kau persulit , selama ada landasan hukumnya yang kuat.”
Jelaslah sudah banyak kemudahan dalam melaksanakan aqiqah ini tanpa harus saling berbantahan, lihat firman Allah :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَ لاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر [البقرة/185]
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian
وَ مَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَج [الحج/78]
” Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan bagi kalian dalam urusan beragama suatu kesempitan”
Siapa yang Dituntut Melakukan Aqiqah?
Aqiqah dibebenkan di pundak bapak sebagai penanggung nafkah. Aqiqah ini diambil dari harta bapak; bukan harta anak. Selain ayah boleh menanggung biaya aqiqah, namun dengan seizin ayahnya.
Bolehkah Berhutang Untuk Aqiqah?
Sayyid Sabiq menyampaikan, jika si bapak dalam kondisi susah sekalipun, sebaiknya tetap dilakukan aqiqah untuk buah hatinya. Apa yang beliau sampaikan senada dengan pendapat Imam Ahmad –rahimahullah-:
إذَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَا يَعُقُّ ، فَاسْتَقْرَضَ ، رَجَوْت أَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، إحْيَاءَ سُنَّةٍ .
“Jika seorang tidak mempunyai kemampuan untuk mengaqiqahi (buah hatinya), maka sebaiknya ia mencari pinjaman. Saya mengharap ia mendapatkan catatan pahala terbaik disisi Allah, lantaran ia sudah berusaha menghidupkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Bolehkah Aqiqah Dengan Selain Kambing?
Ada perbedaan pendapat di antara para ulama’ terkait masalah ini. Menurut madzhab Hanafi, Hambali serta Syafi’i diperbolehkan melakukan aqiqah dengan selain kambing, selama masuk dalam jenis Al-An’am seperti sapi dan unta. Sama seperti ibadah qurban, setatus sapi untuk aqiqah dapat mewakili tujuh bagian.
Sementara ulama’ yang lain tidak memperkenankan melakukan aqiqah dengan selain kambing atau domba.
Syarat Hewan Aqiqah
Hewan yang digunakan untuk aqiqah tidak sah jika mempunyai ‘aib. Hewan itu mesti lepas dari ‘aib. Perihal ini berdasar pada keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Baqarah: 267)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali dari yang thoyyib” (HR. Muslim no. 1015). Thoyyib di sini berarti selamat dari kejelekan (cacat).
Tata cara menyembelih hewan ada 2:
Nahr [arab: نحر], menyembelih hewan dengan melukai bagian tempat kalung (pangkal leher). Ini adalah cara menyembelih hewan unta.
Allah berfirman,
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ الله لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ الله عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا
Telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu bagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah… (QS. Al Haj: 36)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjelaskan ayat di atas, (Untanya) berdiri dengan tiga kaki, sedangkan satu kaki kiri depan diikat. (Tafsir Ibn Katsir untuk ayat ini)
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat menyembelih unta dengan posisi kaki kiri depan diikat dan berdiri dengan tiga kaki sisanya. (HR. Abu daud dan disahihkan Al-Albani).
Dzabh [arab: ذبح], menyembelih hewan dengan melukai bagian leher paling atas (ujung leher). Ini cara menyembelih umumnya binatang, seperti kambing, ayam, dst.
Pada bagian ini kita akan membahas tata cara Dzabh, karena Dzabh inilah menyembelih yang dipraktikkan di tempat kita -bukan nahr-.
Beberapa adab yang perlu diperhatikan:
1. Hendaknya yang menyembelih adalah shohibul kurban sendiri, jika dia mampu.
Jika tidak maka bisa diwakilkan orang lain, dan shohibul kurban disyariatkan untuk ikut menyaksikan.
2. Gunakan pisau yang setajam mungkin.
Semakin tajam, semakin baik. Ini berdasarkan hadis dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْح وَ ليُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan ihsan, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya kalian mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim).
3. Tidak mengasah pisau dihadapan hewan yang akan disembelih.
Karena ini akan menyebabkan dia ketakutan sebelum disembelih. Berdasarkan hadis dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah ).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seseorang yang meletakkan kakinya di leher kambing, kemudian dia menajamkan pisaunya, sementar binatang itu melihatnya. Lalu beliau bersabda (artinya): “Mengapa engkau tidak menajamkannya sebelum ini ?! Apakah engkau ingin mematikannya sebanyak dua kali?!.” (HR. Ath-Thabrani dengan sanad sahih).
4. Menghadapkan hewan ke arah kiblat.
Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah:
Hewan yang hendak disembelih dihadapkan ke kiblat pada posisi tempat organ yang akan disembelih (lehernya) bukan wajahnya. Karena itulah arah untuk mendekatkan diri kepada Allah. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:196).
Dengan demikian, cara yang tepat untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat ketika menyembelih adalah dengan memosisikan kepala di Selatan, kaki di Barat, dan leher menghadap ke Barat.
5. Membaringkan hewan di atas lambung sebelah kiri.
Imam An-Nawawi mengatakan,
Terdapat beberapa hadis tentang membaringkan hewan (tidak disembelih dengan berdiri, pen.) dan kaum muslimin juga sepakat dengan hal ini. Para ulama sepakat, bahwa cara membaringkan hewan yang benar adalah ke arah kiri. Karena ini akan memudahkan penyembelih untuk memotong hewan dengan tangan kanan dan memegangi leher dengan tangan kiri. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:197).
Penjelasan yang sama juga disampaikan Syekh Ibnu Utsaimin. Beliau mengatakan, “Hewan yang hendak disembelih dibaringkan ke sebelah kiri, sehingga memudahkan bagi orang yang menyembelih. Karena penyembelih akan memotong hewan dengan tangan kanan, sehingga hewannya dibaringkan di lambung sebelah kiri. (Syarhul Mumthi’, 7:442).
6. Menginjakkan kaki di leher hewan.
Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
ضحى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بكبشين أملحين، فرأيته واضعاً قدمه على صفاحهما يسمي ويكبر
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor domba. Aku lihat beliau meletakkan meletakkan kaki beliau di leher hewan tersebut, kemudian membaca basmalah …. (HR. Bukhari dan Muslim).
7. Bacaan ketika hendak menyembelih.
Beberapa saat sebelum menyembelih, harus membaca basmalah. Ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang kuat. Allah berfirman,
وَ لاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ الله عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ..
Janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. (QS. Al-An’am: 121).
8. Dianjurkan untuk membaca takbir (Allahu akbar) setelah membaca basmalah.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih dua ekor domba bertanduk,…beliau sembelih dengan tangannya, dan baca basmalah serta bertakbir…. (HR. Al Bukhari dan Muslim).
9. Pada saat menyembelih dianjurkan menyebut nama orang yang jadi tujuan dikurbankannya hewan tersebut.
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika didatangkan seekor domba. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dengan tangan beliau. Ketika menyembelih beliau mengucapkan, ‘bismillah wallaahu akbar, ini kurban atas namaku dan atas nama orang yang tidak berkurban dari umatku.’” (HR. Abu Daud, At-Turmudzi dan disahihkan Al-Albani).
Setelah membaca bismillah Allahu akbar, dibolehkan juga apabila disertai dengan bacaan berikut:
hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud, no. 2795) Atau hadza minka wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan nama shohibul kurban). Jika yang menyembelih bukan shohibul kurban atau Berdoa agar Allah menerima kurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shohibul kurban).”
Catatan: Bacaan takbir dan menyebut nama sohibul kurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Sehingga kurban tetap sah meskipun ketika menyembelih tidak membaca takbir dan menyebut nama sohibul kurban.
10. Disembelih dengan cepat untuk meringankan apa yang dialami hewan kurban.
Sebagaimana hadis dari Syaddad bin Aus di atas.
11. Pastikan bahwa bagian tenggorokan, kerongkongan, dua urat leher (kanan-kiri) telah pasti terpotong.
Syekh Abdul Aziz bin Baz menyebutkan bahwa penyembelihan yang sesuai syariat itu ada tiga keadaan (dinukil dari Salatul Idain karya Syekh Sa’id Al-Qohthoni):
- Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher. Ini adalah keadaan yang terbaik. Jika terputus empat hal ini maka sembelihannya halal menurut semua ulama.
- Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan salah satu urat leher. Sembelihannya benar, halal, dan boleh dimakan, meskipun keadaan ini derajatnya di bawah kondisi yang pertama.
- Terputusnya tenggorokan dan kerongkongan saja, tanpa dua urat leher. Status sembelihannya sah dan halal, menurut sebagian ulama, dan merupakan pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكل، ليس السن والظفر
“Selama mengalirkan darah dan telah disebut nama Allah maka makanlah. Asal tidak menggunakan gigi dan kuku.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
12. Sebagian ulama menganjurkan agar membiarkan kaki kanan bergerak, sehingga hewan lebih cepat meregang nyawa.
Imam An-Nawawi mengatakan, “Dianjurkan untuk membaringkan sapi dan kambing ke arah kiri. Demikian keterangan dari Al-Baghawi dan ulama Madzhab Syafi’i. Mereka mengatakan, “Kaki kanannya dibiarkan…(Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8:408)
13. Tidak boleh mematahkan leher sebelum hewan benar-benar mati.
Para ulama menegaskan, perbuatan semacam ini hukumnya dibenci. Karena akan semakin menambah rasa sakit hewan kurban. Demikian pula menguliti binatang, memasukkannya ke dalam air panas dan semacamnya. Semua ini tidak boleh dilakukan kecuali setelah dipastikan hewan itu benar-benar telah mati.
Dinyatakan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, “Para ulama menegaskan makruhnya memutus kepala ketika menyembalih dengan sengaja. Khalil bin Ishaq dalam Mukhtashar-nya untuk Fiqih Maliki, ketika menyebutkan hal-hal yang dimakruhkan pada saat menyembelih, beliau mengatakan,
وتعمد إبانة رأس
“Diantara yang makruh adalah secara sengaja memutus kepala” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 93893).
Pendapat yang kuat bahwa hewan yang putus kepalanya ketika disembelih hukumnya halal.
Imam Al-Mawardi –salah satu ulama Madzhab Syafi’i– mengatakan, “Diriwayatkan dari Imran bin Husain radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau ditanya tentang menyembelih burung sampai putus lehernya? Sahabat Imran menjawab, ‘boleh dimakan.”
Imam Syafi’i mengatakan,
فإذا ذبحها فقطع رأسها فهي ذكية
“Jika ada orang menyembelih, kemudian memutus kepalanya maka statusnya sembelihannya yang sah” (Al-Hawi Al-Kabir, 15:224).
Distribusi Hewan Aqiqah
Disunnahkan memasak daging sembelihan aqiqah dan tidak memberikannya dalam keadaan mentah. Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Tuhfathul Maudud hal 43-44, berkata: “Memasak daging aqiqah termasuk sunnah. Yang demikian itu karena jika dagingnya sudah dimasak maka orang-orang miskin dan tetangga (yang mendapat bagian) tidak merasa repot lagi. Dan ini akan menambah kebaikan dan rasa syukur terhadap nikmat tersebut. Para tetangga, anak-anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya dengan gembira. Sebab orang yang diberi daging yang sudah masak, siap makan dan enak rasanya, tentu rasa gembiranya lebih dibandingkan jika daging mentah yang masih membutuhkan tenaga lagi untuk memasaknya. Dan pada umumnya makanan untuk tasyakuran (dibuat dalam rangka untuk menunjukkan rasa syukur) dimasak dahulu sebelum diberikan atau dihidangkan kepada orang lain.
Hikmah Disyariatkannya Aqiqah
- Aqiqah itu mempunyai manfaat dan hikmah antara lain :
- Sebagai wujud rasa syukur kehadirat Allah atas karunia yang telah diberikanNya yaitu berupa anak.
- Sebagai pengorbanan untuk mendekatkan anak kepada Allah sedini mungkin, sejak awal mengarungi kehidupan. Dan membiasakan diri bagi orang tua/wali nya untuk berkurban.
- Sebagai tebusan si anak dari berbagai musibah dan bencana, sama dengan Allah menebus Ismail 'alahissalam dengan sembelihan yang agung.
- Sebagai pembuka penggadai anak pada kesempatan syafaat bagi kedua orang tuanya
- Menampakkan kegembiraan dan optimisme untuk menegakkan syariat Islam dan menghembuskan keimanan kepada saudara-saudaranya.
- Menguatkan ikatan keakraban dan kecintaan sesama anggota masyarakat karena berkumpulnya mereka dihadapan hidangan yang disediakan artinya bergembira ria menyambut anak yang baru lahir.
- Menjalin kembali solidaritas sosial yang merupakan perwujudan sendi-sendi keadilan ditengah-tengah masyarakat dan upaya mengurangi kemiskinan dan kepapaan. Wallahu ‘Alam