Kitab Puasa 7: Itikaf

Melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan merupakan Sunnah yang dianjurkan, dengan maksud untuk memperoleh kebaikan dan mencari Lailatul Qadr.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِلَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍتَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadr/97: 1-5]

Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, dan beliau bersabda:

تَحَرُّوْا لَيْلةَ الْقَدَرِ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.

“Carilah lailatul qadr pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.”[1]

Juga diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَحَرُّوا لَيْلةَ الْقَدَرِ فيِ الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.

“Carilah Lailatul qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” [2]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan umatnya untuk menghidupkan malam Lailatul qadr. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa yang shalat malam Lailatul qadar kerena iman dan mengharap ganjaran-Nya, maka akan diampuni dosa-dosa-nya yang telah lalu.”[3]

I’tikaf hanya boleh dilakukan di masjid, berdasarkan firman Allah:

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“… (Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid…” [Al-Baqarah/2: 187]

Juga karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu beri’tikaf di dalamnya.

Disunnahkan bagi orang yang i’tikaf untuk menyibukkan diri dengan segala bentuk ketaatan kepada Allah, seperti shalat, membaca al-Qur-an, mengucapkan tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, beristighfar, membaca shalawat atas Rasulullah, berdo’a, menuntut ilmu dan yang lainnya.

Dan dimakruhkan bagi mereka untuk menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, baik itu berupa perbuatan atau perkataan. Begitu juga dengan menahan diri untuk tidak berbicara karena menganggap hal tersebut sebagai salah bentuk pendekatan diri kepada Allah.[4]

Dibolehkan bagi orang yang beri’tikaf untuk keluar dari tempatnya karena ada kebutuhan yang mendesak, begitu juga dibolehkan bagi mereka untuk menyisir dan mencukur rambut, memotong kuku serta membersihkan badan. I’tikaf seseorang akan batal jika ia keluar dari tempat i’tikafnya tanpa ada kebutuhan yang mendesak dan juga jika ia melakukan hubungan badan.
***
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta]
————————————————————————————————————————
Referensi:
  1. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 987)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/259, no. 2020), Sunan at-Tirmidzi (II/144, no. 789).
  2. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/259, no. 2017), Shahiih Muslim (II/628, no. 1169).
  3. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari IV/255, no. 2014), Shahiih Muslim (I/523, no. 760), Sunan Abu Dawud (IV/146, no. 1359), Sunan an-Nasa-i (IV/157).
  4. Fiqhus Sunnah (I/404) dengan perubahan
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url